Pages

30.4.17

Yuk, dimulai lagi yuk..

Macam janji kampanye: manis di bibir dan banyak niat di awal, tapi liat aja nanti paling ingkar-ingkar juga.

Ya gitu deh kalau ngeblog. Apalagi blognya bukan buat tujuan apa-apa. Maunya bermanfaat, tapi apa daya otak cetek, ngetik sebelas jari, dan skillnya cuma scrolling feeds instagram dan 9gag sambil cengengesan.

Anyway.. let's start it again lah, sayang mau bikin yang baru, lanjutin ini saja.

Yuk..

29.9.14

Tuhan Pedagang Surga?

“Di surga itu nggak ada orang jelek, semuanya cantik-cantik, ganteng-ganteng. Kaum pria bisa punya istri lima orang bidadari yang nggak pernah menstruasi. Semua makanan yang ada di sana enak-enak. Yang di bumi haram, di sana jadi halal, arak misalnya. Mau apa aja pasti ada, pasti diturutin, pasti dikabulin. Bla bla bla.. bla bla bla..”

Kurang lebih begitulah bagaimana guru-guru agama kita di sekolah kalau promosi surga. Katanya sih berdasarkan Quran dan hadis. Ya saya juga baca sih, di Quran memang dengan implisit menyatakan bahwa surga itu tempatnya semua yang enak-enak. Bukannya saya tidak percaya, justru saya sangat percaya makanya saya masih punya iman. Yang saya tidak setuju adalah bagaimana manusia menjadikan surga seumpama komoditas atau barang dagagan. Dan cara menjualnya pun hard-selling banget. Ya seperti yang saya kutip di atas itu.

Salah? Mungkin tidak sepenuhnya salah. Rangkaian kalimat di atas adalah shortcut buat mengiming-imingi orang malas supaya tertarik beribadah dan masuk surga, tanpa dengan jelas memberikan alasan bagaimana dan mengapa. Yang kita tahu hanya hubungan transaksionis antara ibadah dan surga. Seolah-olah Tuhan adalah pedagang surga, alat tukar atau uangnya adalah pahala, supaya dapat uang atau pahala untuk beli surga kita harus bekerja dengan cara ibadah, dan terakhir sales marketing-nya guru agama atau ustadz/ah, dll. (maaf ya pak, bu, hehe)

Hasilnya? Banyak orang yang menjalankan ibadah dengan motivasi yang salah. Bukan hal yang buruk memang untuk mengharapkan surga. Orang terjahat sekalipun (kalau punya iman) pasti mau masuk surga. Tapi saya tetap tidak setuju dengan paradigma hasil promosi dagang surga ini. Saya jadi ingat pernah bahas ini dengan teman-teman kuliah. Mereka ribut menyoalkan bagaimana surga itu tempatnya manusia hidup enak kekal abadi selamanya. Persis seperti yang saya kutip di atas. Lantas saya, yang memilih lebih banyak diam kalau membahas agama karena saya tidak mau sok tahu dan karena memang saya tidak banyak tahu, angkat bicara dan menuntaskan kerusuhan di antara orang-orang yang sama-sama belum tahu ujud surga itu.

“Menurut gue sih, di surga itu bukannya nggak ada orang jelek, bukannya nggak ada makanan nggak enak atau boleh minum bir, bukannya gimana. Tapi mereka yang masuk surga itu, adalah orang-orang yang hatinya putih, orang-orang yang pikirannya bersih, ahli syukur. Jadinya di mata mereka nggak ada wajah yang terlihat jelek. Di lidah nggak ada yang terasa nggak enak. Karena mereka memang nggak peduli apa itu jelek, apa itu nggak enak. Mereka juga nggak ada niat mau ngebir, zinah, dan lain-lain Yang masuk surga menurut gue pasti orang yang nggak punya hal negatif dalam pikiran sama hatinya.”

Barulah terdengar ucapan-ucapan ‘iya sih ya’, ‘bener juga ya’, ‘iya sih, berarti kita kalau masih suka nyinyirin orang belum bisa masuk surga ya’. Nah! Sampai sini saya lega.

Saya jadi ingat teman SMA saya, Amelia, pernah bilang kurang lebih begini di media sosialnya.
“Orang yang kepengen masuk surga karena pingin bisa punya istri lima bidadari dan mau makan enak itu, berarti niatnya cuma buat nyenengin perut sama tit*tnya doang.”

Dan saya SANGAT SETUJU dengan pendapat dia itu.
Paradigma ini yang mengantarkan banyak manusia menjalankan ibadah dengan niat terselubung, bukan ikhlas untuk menyembah Tuhan-nya. Niat terselubung supaya nanti di surga, kerja keras ibadahnya yang menghasilkan pahala yang banyak, bisa dipakai buat beli kemewahan dan kenikmatan hidup di surga.

Saya pribadi memang bukan umat muslim yang sangat taat. Bahkan bisa dibilang saya sehari-hari baru mampu menjalankan ibadah-ibadah yang wajib saja, ya sesekali ditambah sholat Dhuha lah. Tapi satu hal yang saya tahu pasti adalah, saya bisa merasakan momen-momen ajaib setiap selesai sholat. Walaupun saat itu saya sibuk, mengantuk, atau bahkan sholatnya buru-buru, setiap selesai sholat saya bisa menarik napas panjang dan bersyukur. Bersyukur atas apa saja.


Saya bukan ngaku-ngaku paling bener lho ya. Tapi setidaknya saya sadar, tanpa termakan promosi dan iming-iming surga seperti di atas, saya masih bisa menjalankan ibadah dan keimanan saya. Urusan surga biar Dia yang atur. Karena saya juga yakin, Tuhan pun tidak mau dilabeli sebagai ‘pedagang surga’.

24.9.14

This Person

This person probably thinks that I am a gold-digger. Or at least it’s me who think that this person thinks I’m a gold-digger.
In fact, I’m now trying to return this person's favor.

So this person had helped me for couple times. This person bought me something I really wanted. And this person paid the bill when we had dinner together.

All I could do was saying thanks. This person said ‘selow’, ‘my treat’, ‘it’s for you’, and other things like that. This person said I should not mind, but how could I not put myself so much in debt with this person.

Later on, I tried to meet this person. I went to pasfes and brought along this person's book I borrowed years ago and a little something from my hometown. I invited this person for movie after work without any intention or expectation that this person would pay for the tickets. Because it was the other way around. I would pay for them to let go of this bad feeling for being so dependent on this person. But this person said, ‘Nah, I don’t think I can.’

In the end, it is indeed not only about money. But this is really a confusing kind of friendship.

And now I don’t even have the nerve to text this person first. I'm afraid that this person would think I’m lingered or something. We used to have exciting chats though. But no, I won’t risk making any false and negative image anymore. If this is going to end this way, then let it be. Bodo amat dah ah…


The only thing I wish for right now is that we could meet one last time. I want to make it balance. It’s either for the sake of this bizarre friendship, or my gold-digger image in his eyes, or at least for this imaginary-debt-feeling that I have right now. One last time. Before this person goes on his life, and I live mine.

23.9.14

It’s not about how we can afford to pay all of the water of the earth

Suatu siang di UKM GOR Soemantri Brodjonegoro, Kuningan, Jakarta Selatan, saya makan dengan seorang teman. Tempat makan dengan konsep pujasera ini membuat para pengunjungnya bebas memilih makanan dan minuman apa saja, duduk di mana saja, dan bahkan bisa melihat proses membuatnya. Ya iya lah, wong tempatnya terbuka begitu.

Usai makan, saya tengok ke seberang kanan adalah warung nasi goreng. Abangnya sedang sibuk memasak. Tapi keran air di tempat pencuciannya terbuka, dan air yang mengalir deras sekali. ‘Mungkin sedang menampung air,’ batin saya. Tapi dilihat-lihat kok di bawah keran air itu kosong. ‘Mungkin mbersihin salurannya yang mampet,’ saya tetap berusaha positif. Tapi apa lah gunanya berpikir posisitf kalau kita tahu ada dampak negatifnya. Akhirnya saya jalan ke arah abang nasi goreng itu.

‘Bang, kok airnya nyala?’
‘Iya mbak, lupa, hehe.’
‘Terus? Sekarang udah inget kan?’
‘Iya, nanti saya matiin, hehe,’ ujarnya masih cengengesan.
‘Atuhlah, boros kan airnya kasian,’ akhirnya saya sendiri yang matikan keran air itu.
‘Hehe, makasih mbak.’

Seringkali perbuatan kecil seperti ini luput dari perhatian kita. It seems to be not a big deal.
Namun sangat klise kalau saya berargumen begini: ‘Di luar sana banyak yang susah dapat air dan kekeringan, kok kita malah boros air.’

Tapi sekarang begini, coba ubah sudut pandangnya. Oke, kita bisa bayar berapapun tagihan airnya. Oke, akses air di tempat tinggal kita mudah dan lancar, sehingga bebas memakainya.
But do we really think that the water we waste bring good for us? Gampangnya, apakah air yang kita habiskan itu memang kita ambil manfaatnya sebelum mengalir ke pembuangan?

Saya sering bertemu dengan orang-orang semacam di atas. Di tempat wudhu, buka keran kencang-kencang baru gulung lengan dan buka peniti jilbab. Di toilet, buka keran kencang-kencang lantas ditinggal menyabun tangan atau ambil tissue. Dan saya juga sering nyaris bertengkar atau sekadar dipelototi karena dengan sengaja mematikan keran di depan mereka. ‘Boros,’ selalu itu jawaban saya.

It’s not about how we can afford to pay all of the water of the earth. Tapi tentang bagaimana kita menghargai natural resources yang dipinjamkan Bumi ke kita. Pinjam? Iya lah, memangnya kita ikut bikin air?

Same thing goes to other natural resources. Entah yang bisa diperbaharui maupun tidak. Listrik, bahan bakar, bahkan makanan. Banyak orang yang masih memaknai hal-hal tersebut sebagai hak milik. Milik mereka. Sehingga mereka mau berbuat apapun sepanjang mereka bisa membayarnya, tak ada orang yang berhak mempermasalahkannya. Tak peduli betapa banyak sisa atau bagian yang terbuang percuma, toh menurut mereka mereka membayarnya. Mereka kira uang bisa menjadi alasan dan kompensasi atas kemubaziran yang mereka lakukan.

Sedih? Saya sudah dari dulu sedih karena ini.


22.9.14

Life is...

Life is not a 'give and take' transaction. No.

It's more like
'Give and wait for the universe to conspire and decide whether or not you deserve to have something in return.'

So just keep giving while also holding yourself not to expect too much to everything.
God never sleeps, ya know..